Sabtu, 12 April 2008

Permasalahan pelaku iptek dalam pembangunan ekonomi berdaya saing global

Dalam kuartal ke empat setiap tahun, forum ekonomi dunia mengeluarkan laporan peringkat daya saing global untuk lebih dari 180 negara. Untuk tahun 2007 - 2008, laporan yang diluncurkan di awal November 2007 kembali mencerminkan hasil dari kebijakan pembangunan pemerintah, baik secara makro maupun mikro.

Meninjau kembali laporan yang dikeluarkan di tahun 2007, peringkat daya saing global Indonesia terhadap negara tetangga patut mendapat sorotan.

Dengan menempati peringkat ke 54, terhadap Thailand di urutan ke 28 dan Malaysia di peringkat 21, daya saing Indonesia di mata internasional sangatlah rentan. Terlebih lagi dengan Singapura yang telah sejajar dengan negara negara maju dengan menempati peringkat ke 7.

Dari dua belas elemen yang menjadi ukuran dalam menentukan peringkat daya saing global, dua diantaranya, kesiapan teknologi serta inovasi, mencerminkan pentingnya peranan sains dan teknologi (iptek) dalam pembangunan ekonomi berdaya saing global. Hal tersebut sejalan dengan gagasan pakar ekonomi Paul Romer dimana kemajuan iptek telah merubah peta persaingan pasar global yang berlandaskan pada penguasaan akan pengetahuan.

Dengan menempati urutan ke 75 untuk kesiapan teknologi dan 41 untuk inovasi, peringkat tersebut sangat jauh tertinggal dibawah Malaysia (peringkat 30 dan 21) dan terlebih lagi Singapura (12 dan 11). Ini menunjukkan masih diperlukannya langkah langkah strategis dan taktis dalam membuahkah hasil yang signifikan terhadap peningkatan ekonomi berdaya saing.

Pelaku iptek

Hal tersebut bukanlah tidak disadari oleh pemerintah. Dalam visi iptek 2025 yang dikeluarkan oleh kementerian riset dan teknologi, peringkat daya saing global untuk tahun 2004 telah dijadikan acuan dalam menyikapi pentingnya peranan iptek dalam pembangunan ekonomi berdaya saing.

Bahkan penjabaran visi tersebut ke dalam tahapan kegiatan riset jangka pendek telah dituangkan dalam agenda riset nasional yang disusun oleh dewan riset nasional.

Dalam penyusunannya, anggota dewan riset nasional dipilih mewakili para pelaku dari sektor sektor usaha, pemerintahan serta akademik. Nampaknya pemilihan ketiga pihak tersebut diilhami oleh gagasan triple helix dari sosiolog Henry Etzkowitz dalam memaparkan interaksi para pelaku iptek dalam sebuah sistem inovasi nasional.

Gagasan tersebut bahkan diangkat pemerintah ke dalam undang undang nomor 18/2002 mengenai sistem nasional penelitian, pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kendala

Konsep interaksi antar pelaku iptek dalam sistem inovasi nasional bukanlah hal yang baru di negara negara maju. Selain mensyaratkan akan adanya kebijakan hukum dan ekonomi yang konsisten, kestabilan politik serta daya dukung institusi yang mumpuni, terciptanya interaksi yang harmonis antar pelaku iptek sangat berpengaruh dalam menciptakan pengetahuan pengetahuan baru yang inovatif.

Namun dalam penerapannya, sosiolog iptek Aant Elzinga dan Andrew Jamison mengingatkan akan munculnya benturan benturan interaksi antar para pelaku iptek yang berakar dari perbedaan tingkah laku budaya.

Oritentasi hasil riset yang terfokus pada kualitas karya penelitian seringkali dinilai kurang mempunyai nilai jual pasar oleh para pelaku industri. Pola birokrasi pemerintah juga dianggap menghambat kelancaran kegiatan usaha yang berdampak pada penurunan daya saing. Di sisi lain, budaya untuk meraup keuntungan melalui komersialisasi iptek bagi kalangan akademik adalah hal tabu bagi integritas keilmuan.

Strategi

Untuk menyiasati benturan budaya dari ketiga pihak pelaku iptek, diperlukan cara cara yang dapat menjembatani ketiga kepentingan yang berbeda.

Bentuk intermediasi seperti ini pada hakikatnya bukanlah baru di Indonesia. Hanya saja kerjasama tersebut masih didominasi oleh sektor tertentu seperti dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dimana pihak industri telah melakukan kerjasama dalam bentuk pelatihan piranti lunak, pemberian piranti lunak untuk kepentingan pengembangan maupun pendidikan melalui pihak pihak lembaga swadaya masyarakat.

Disamping itu, kerjasama juga melebar dalam bentuk pendanaan untuk badan usaha yang dapat melakukan terobosan inovatif dalam pengembangan produknya. Lagi lagi kerjasama ini masih didominasi oleh sektor TIK.

Pada bidang iptek diluar TIK program tersebut masih relatif sedikit. Padahal melihat pengalaman di negara maju interaksi dalam sebuah sistem inovasi dapat menghasilkan kemampuan iptek yang handal khususnya apabila dapat menghasilkan badan usaha terpisah (spin off).

Beberapa industri seperti di bidang tekstil dan manufaktur mendapat perhatian khususnya dari pihak pihak LSM yang mendapat dukungan dana dari luar negeri. Sayangnya upaya ini belum dijadikan ajang untuk membangun interaksi sistem inovasi dalam meningkatkan daya saing nasional.

Cara lain untuk mendorong interaksi pelaku iptek adalah melalui program inkubasi. Pihak universitas dapat menjalin kerjasama awal dengan pihak industri dengan memakai fasilitas universitas untuk penelitian tertentu. Adapun strategi komersialisasi penelitian dapat diserahkan pada pihak industri yang lebih berpengalaman dalam penjualan dan pemasaran barang.

Pada sisi lain, untuk mendorong inisiatif terbentuknya program inkubasi, pemerintah dapat mengambil langkah melalui kebijakan pemberian insentif untuk jangka waktu pendek bagi kerjasama antar para pelaku iptek. Pemberian keringanan bea masuk untuk fasilitas penelitian yang terkait dengan program inkubasi dapat dirumuskan dalam kebijakan pemerintah untuk meningkatkan gairah program inkubasi.

Selain itu, kebijakan keringanan pajak juga dapat diberikan pada badan usaha hasil pemisahan program inkubasi, setidaknya sampai pada batas waktu yang dianggap cukup bagi badan usaha tersebut untuk mencapai tingkat penetrasi pasar.

Sejalan dengan mapannya interaksi antar pelaku iptek serta meningkatnya permintaan pasar akan produk nasional hasil interaksi sistem inovasi, kebijakan kebijakan tersebut dapat dicabut agar persaingan dengan produk asing dapat berlangsung dengan sehat.

Pada tahap ini jalinan interaksi antara pelaku iptek nasional diharapkan telah siap untuk membuahkan hasil iptek yang berdaya saing tinggi yang pada akhirnya berdampak pada terciptanya tuntutan pasar akan produk produk hasil rekayasa lokal yang lebih berkualitas. Ujung ujungnya, interaksi yang sejalan antar para pelaku iptek dapat membentuk landasan dalam ekonomi yang kuat melalui pembangunan sistem inovasi nasional.

Tidak ada komentar: